Tanpa terasa tiga bocah sekawan perlahan tapi pasti tumbuh dan berkembang mengikuti usia yang semestinya. Kalau dilihat dari segi fisik, mereka bukan bocah ingusan lagi. Tahun depan insha Allah mereka akan menempuh ujian nasional atau disingkat dengan UN. Di sekolah Madrasah Ibtidaiyah, ujian biasanya dilakukan dua kali. Yang pertama ujian khusus Madrasah dan yang berikutnya ujian mata pelajaran umum sebagaimana di sekolah dasar negeri pada umumnya.
Kondisi seperti ini mengharuskan para siswa MI harus belajar ekstra karena jumlah mata pelajaran lebih banyak dan spesifik keagamaan. Mereka butuh waktu belajar yang lebih dan sungguh - sungguh. Untuk mengatasi keadaan ini sekolah biasanya menyelenggarakan pembelajaran tambahan di luar jam wajib yang dimulai sejak pagi hari. Kegiatan belajar tambahan ini mengambil waktu usai shalat Zuhur hingga shalat Ashar. Dijadwalkan setiap hari kecuali hari Jum'at.
Model pembelajaran seperti ini tidak asing lagi bagi keluarga Fari. Dua orang kakaknya juga jebolan MI. Untuk mengantisipasi semua ini, ibunya Fari berinisiatif untuk memindahkan Fari ke MI yang lain, dimana lokasinya di luar kampung yang mereka tinggali. Intensitas bermain yang cukup tinggi bagi anak - anak seusia mereka menjadi salah satu alasan utama kenapa Fari sebaiknya pindah sekolah. "Jangan bermain terus nak, ingat juga belajar!" kata ibunya pada suatu malam. "Matamu merah dan wajahmu kelelahan karena bermain seharian. Tidak tahu kemana semua kamu sepanjang hari. Tidur siang juga tidak pernah," celoteh ibu Fari tanpa jeddah. "Iya Mak! saya tahu juga itu kasian," balas Fari cuek. Rasa lelah yang sangat membuat Fari tidak bergairah dinasihati dan tertidur di depan TV. "Ini anak mulai sulit diatur. Lagi pula sudah kelas 5 modelnya begini terus. Bikin pusing" Ibunya Fari mengomel terus melihat anaknya yang satu ini agak sulit diatur.
Selang beberapa minggu kemudian, Fari makin getol bermain. Apalagi dengan adanya rental Play Station yang dibuka di kampung itu membuat anak - anak banyak menghabiskan waktunya di sana. Setelah diberikan pandangan atau nasihat secara perlahan, Fari akhirnya mau dipindahkan ke sekolah yang sudah direncanakan. Kebetulan juga lokasi sekolah tersebut tidak jauh dari rumah paman Fari. Jadi Fari bisa singgah di sana ketika pulang sekolah sambil menunggu ayahnya untuk menjemput.
Rupanya kedaan ini juga dirasakan oleh orang tua Reza. Dengan alasan yang hampir mirip dengan Fari, Reza pun diusahakan pindah ke sekolah dasar negeri yang juga ada di kampung itu. Salah satu alasannya adalah Reza tidak menguasai beberapa mata pelajaran Madrasah. Sebagai solusinya ia pindah ke sekolah umum. Tentu ini juga demi kebaikannya.
"Rival, jangan sedih kasian untuk sementara kita berpisah sekolah dulu," kata Reza. "Iya Rival kalau pulang sekolah atau hari Minggu kita tetap main sama - sama," Fari menambahkan. Mereka bertiga bertemu di masjid ketika shalat Magrib. Rival yang agak pendiam itu hanya tersenyum samar tanpa suatu kata. Ia nampak bingung juga kenapa kedua sahabatnya itu harus pindah sekolah. Bukankah saat ini mereka sudah duduk di bangku kelas 5? Berarti tinggal satu tahun lagi mereka akan tamat dari sekolah itu, Insha Allah.
Yang jelas kepindahan Reza dan Fari semata untuk mencari solusi agar mereka siap menghadapi ujian kelas 6 tahun depan. Beruntunglah orang tua mereka meski tinggal di kampung, namun masih memiliki pemahaman terhadap pendidikkan anak - anak mereka.
Komentar
Posting Komentar